SAMOSIR, JAYA POS – Sebuah fenomena alam yang tidak lazim mengguncang Desa Rianiate, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, pada 29 Juli 2025. Semburan lumpur bercampur gas disertai suara gemuruh dan bau menyengat mirip belerang muncul secara tiba-tiba dari tanah, memunculkan kekhawatiran luas di tengah masyarakat dan para ahli geologi. Indikasi awal menunjukkan kejadian ini berkaitan erat dengan sistem fluida geotermal aktif yang terhubung ke jalur outflow panas bumi Pintu Batu — bagian penting dari Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp).
Gejala Tidak Umum: Lebih dari Sekadar Lumpur dan Gas
Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI), melalui investigasi lapangan bersama sejumlah pakar termasuk Ir. Alimin Ginting, menyatakan bahwa fenomena ini tidak bisa dikategorikan sebagai gejala geologi umum. Intervensi manusia dalam bentuk pengeboran tanpa kajian geologi diduga memicu pelepasan tekanan dari sistem geothermal yang sebelumnya tertutup rapat.
Prof. Mega dari Universitas Padjadjaran memperingatkan bahwa lokasi semburan berada di atas rekahan batuan vulkanik aktif, dan pelepasan tekanan mendadak dapat menimbulkan risiko lanjutan jika tidak ditangani secara ilmiah dan terpadu.
Tim PS_GI mencatat sejumlah fakta penting:
- Aroma gas belerang (H₂S) yang tercium mengindikasikan adanya interaksi aktif dengan sistem geothermal bawah tanah, meskipun kadarnya masih tergolong rendah.
- Suara gemuruh berkelanjutan pasca-semburan menunjukkan ketidakstabilan yang masih aktif di dalam tanah.
- Kematian burung di sekitar lokasi semburan lama menunjukkan potensi paparan gas toksik.
Kebutuhan Mendesak akan Edukasi dan Komunikasi Publik Berbasis Ilmu
Di tengah kekacauan informasi dan narasi spekulatif, PS_GI menekankan bahwa penanganan publik harus berbasis pada data ilmiah, bukan opini atau penafsiran budaya semata. Edukasi yang bertanggung jawab menjadi kunci untuk menghindari kepanikan sekaligus memastikan partisipasi warga dalam mitigasi risiko.
PS_GI menyerukan kepada semua pihak untuk:
- Menyampaikan informasi berbasis fakta dan transparansi.
- Menghindari narasi simplistik dan menyepelekan, seperti menyebut peristiwa ini sebagai “hal biasa karena dekat Danau Toba”.
- Menyadarkan publik bahwa kawasan geopark adalah wilayah aktif secara geologi, bukan sekadar destinasi wisata.
Koordinasi Pemerintah Daerah: Tumpang Tindih dan Minim Kepemimpinan
Sayangnya, respons dari Pemerintah Kabupaten Samosir memperlihatkan lemahnya koordinasi dan kepemimpinan dalam krisis ini. Tidak ada pernyataan resmi dari Bupati atau dinas teknis yang seharusnya tampil memimpin.
Sebaliknya, beberapa pejabat muncul tanpa koordinasi yang memadai:
- Robintang Naibaho (Camat Pangururan) menyebut fenomena ini “biasa”. Pernyataan ini tidak hanya keliru secara teknis, tetapi juga berpotensi menyesatkan masyarakat.
- Hotraja Sitanggang (Asisten II Pemkab Samosir) menyampaikan penjelasan yang membingungkan, dengan mengatakan “airnya dingin, mungkin lumpur vulkanik”, tanpa dasar ilmiah yang jelas.
- Dr. Tumiur Gultom (Kadis Pertanian) secara aktif memberikan keterangan kepada media, meskipun topik ini seharusnya menjadi kewenangan Dinas ESDM, BPBD, atau DLH.
Dinas Kominfo pun absen dalam mengkoordinasikan narasi resmi lintas sektor, menyebabkan informasi publik menjadi fragmentaris dan rawan disinformasi.
TCUGGp Diam: Di Mana Para Ahli Geologi?
Ketiadaan respons publik dari Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp) juga menjadi sorotan utama. Sebagai institusi yang dibentuk untuk menjaga integritas ilmiah dan sosial kawasan, ketidakhadiran tim geoscientist mereka dalam menjelaskan fenomena ini merupakan bentuk kelalaian serius.
TCUGGp seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan klarifikasi berbasis geosains kepada publik dan pemerintah. Fenomena ini bukan hanya panggilan darurat, tapi juga ujian terhadap komitmen geopark dalam mengelola kawasan dinamis secara etis dan ilmiah.
Ahli geologi Jonathan Tarigan mengakui bahwa fenomena ini bisa dijelaskan secara geoteknik, namun tetap menekankan pentingnya pengujian kandungan gas untuk memastikan tidak ada zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan lingkungan.
Merespons situasi ini, PS_GI merekomendasikan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
1.Investigasi terpadu oleh Badan Geologi (Kementerian ESDM), akademisi, dan lembaga riset independen.
2.Pemetaan rekahan aktif dan jalur migrasi fluida geotermal di wilayah Rianiate dan sekitarnya.
3.Moratorium pengeboran air tanah di seluruh zona geopark tanpa izin teknis.
4.Peningkatan kapasitas manajemen risiko dan komunikasi krisis di lingkungan Pemkab Samosir.
5.Publikasi hasil investigasi secara terbuka, untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menangkal disinformasi.
Fenomena Alam Tidak Bisa Diabaikan
Alam telah memberi sinyal. Yang diperlukan kini bukan narasi penenang, melainkan respons cerdas berbasis ilmu dan komitmen. Fenomena di Rianiate menjadi pengingat bahwa geopark bukan sekadar lanskap indah, melainkan sistem geodinamika aktif yang menuntut kehati-hatian, pengetahuan, dan integritas dalam pengelolaannya. ***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si Penggiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI)












