Kepala Badan Penghubung Sumatera Utara Disorot Atas Dugaan Tiket Kosong dan Intervensi Sponsor
JAKARTA, JAYA POS – Di balik meriahnya perayaan Hari Ulos Nasional, Minggu, 19/10/2025 yang digelar Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI) di Anjungan Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), tersimpan kisah yang mengundang tanda tanya besar.
Sosok yang seharusnya menjadi fasilitator kegiatan budaya justru disebut-sebut menjadi penghambat. Dialah Ichsanul Arifin Siregar, Kepala Badan Penghubung (Badan Anjungan) Sumatera Utara di TMII, yang kini diduga terlibat dalam praktik manipulatif dan tidak transparan.
Awal yang Hangat, Berakhir dengan Kekecewaan
Ketua Panitia Hari Ulos, Anastasia Sianturi, mengungkapkan bahwa pada awalnya, pihaknya mendapat sambutan positif dari Ichsanul Arifin Siregar. Ia bahkan mendukung penuh rencana pelaksanaan acara bertema “Ulos Menyatukan Bangsa” tersebut.
“Awalnya beliau sangat terbuka. Kami datang dengan semangat membawa kegiatan budaya Batak, dan beliau menyambut baik. Tapi belakangan, semuanya berubah drastis,” ujar Anastasia kepada JAPOS.CO.
Panitia pun mulai bergerak mencari sponsor, salah satunya ke Bank Sumut, yang dikenal sering mendukung kegiatan budaya daerah. Proposal resmi pun diajukan oleh FBBI. Namun, menjelang pelaksanaan acara, muncul kabar tak sedap.
Dugaan Pembagian Dana Sponsor
Menurut keterangan panitia, tiga hari sebelum acara digelar, Ichsanul Arifin Siregar menyampaikan bahwa Bank Sumut bersedia menjadi sponsor dengan nilai Rp 20 juta. Namun, pernyataan berikutnya membuat panitia kaget.
“Beliau mengatakan dana itu akan dibagi dua, separuh untuk pihaknya dan separuh untuk panitia. Kami tentu menolak karena proposal resmi itu dari FBBI, bukan dari pihak Badan Penghubung,” kata Anastasia.
Penolakan tersebut tampaknya memicu ketegangan. Sebab, sehari menjelang acara, Ichsanul Arifin Siregar disebut mendadak membatalkan seluruh fasilitas yang sebelumnya dijanjikan, kecuali pemberian 81 tiket masuk gratis untuk tamu undangan.
Tiket Gratis yang Ternyata Tidak Gratis
Namun ironisnya, tiket yang disebut “gratis” itu ternyata sebagian besar tidak dapat digunakan. Dari 81 tiket, 50 tiket dikabarkan kosong, alias tetap mengharuskan tamu membayar untuk masuk ke area TMII, meskipun panitia telah memberikan barcode tiket resmi. Beberapa tamu undangan mengaku kecewa dan merasa dipermalukan.
“Sudah pegang tiket undangan resmi, tapi tetap diminta bayar di pintu masuk. Ini jelas merusak citra acara dan menimbulkan kebingungan,” keluh salah satu undangan yang enggan disebutkan namanya.
Tak hanya itu, fasilitas lain seperti bangku dan konsumsi (nasi kotak) yang dijanjikan pihak Anjungan Sumatera Utara juga tidak disiapkan seperti kesepakatan awal. Hal ini membuat acara yang seharusnya berjalan lancar menjadi penuh kendala teknis.
Aktivis Antikorupsi Angkat Suara
Menanggapi kejadian ini, Direktur Eksekutif Government Against Corruption and Discrimination (GACD), Andar Situmorang, SH, MH, menilai tindakan Kepala Badan Penghubung Sumatera Utara tersebut tidak pantas dan berpotensi melanggar etika birokrasi.
“Ada dua pelanggaran serius di sini. Pertama, dugaan gratifikasi berupa permintaan 50% dari dana sponsor Bank Sumut. Kedua, manipulasi tiket gratis yang ternyata tidak bisa digunakan. Ini bentuk ketidakjujuran dan pelecehan terhadap panitia serta tamu undangan,” tegas Andar Situmorang.
Ia menambahkan, perbuatan seperti ini menunjukkan bagaimana kepentingan pribadi kadang lebih diutamakan daripada kepentingan pelestarian budaya daerah.
“Saya akan segera menyurati Gubernur Sumatera Utara agar meninjau kembali kinerja Kepala Badan Penghubung tersebut. Orang seperti ini tidak pantas menduduki jabatan strategis yang berkaitan langsung dengan citra daerah,” lanjutnya.
Tidak Ada Jawaban dari Pihak Terkait
Upaya konfirmasi kepada Ichsanul Arifin Siregar melalui pesan WhatsApp telah dilakukan oleh JAPOS.CO, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan resmi dari yang bersangkutan.
Kasus ini menyoroti persoalan klasik dalam birokrasi daerah: lemahnya pengawasan dan penyalahgunaan kewenangan di sektor kebudayaan. Padahal, kegiatan seperti Hari Ulos bukan hanya ajang seremonial, tetapi juga momentum memperkuat identitas dan persatuan bangsa.
Jika dugaan ini benar, tindakan seorang pejabat yang semestinya menjadi “jembatan budaya” malah berubah menjadi “penghalang tradisi”.
Harapan kini tertuju pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk melakukan evaluasi dan audit internal terhadap kinerja pejabat yang bersangkutan. Budaya tidak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi, apalagi jika sudah menyangkut potensi gratifikasi dan manipulasi dana publik. (RED)












