BeritaHeadlineNusantara

Strategi Kemitraan Geopark Kaldera Toba Menuju Green Card: Komitmen Nyata atau Sekadar Pencitraan?

28
×

Strategi Kemitraan Geopark Kaldera Toba Menuju Green Card: Komitmen Nyata atau Sekadar Pencitraan?

Sebarkan artikel ini
Wilmar Eliaser Simandjorang.

SAMOSIR, JAPOS.CO – Geopark Kaldera Toba, sebagai salah satu warisan geologi kelas dunia, saat ini tengah menghadapi tantangan besar: bagaimana merebut kembali “Green Card” atau pengakuan penuh dari UNESCO yang sempat lepas pada hasil revalidasi 2023. Untuk itu, kemitraan strategis dengan berbagai pihak menjadi kunci. Namun, pertanyaannya: sejauh mana kemitraan itu telah dirancang dan dijalankan secara nyata?

Kemitraan: Pilar Utama Menuju Keberlanjutan

Geopark Kaldera Toba tidak mungkin berdiri sendiri. Untuk menjaga kelestarian warisan geologi, hayati, dan budaya, sinergi lintas sektor sangat dibutuhkan: mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, organisasi lingkungan, dunia pendidikan, hingga pelaku usaha. Prinsip bottom-up, partisipasi aktif masyarakat dari bawah, bahkan menjadi nilai utama yang digaungkan oleh UNESCO.

Secara ideal, kemitraan diharapkan dapat:

  • Meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya pelestarian alam.
  • Mendorong pengembangan ekonomi lokal berbasis geowisata.
  • Meningkatkan kualitas infrastruktur dan aksesibilitas.
  • Membuka ruang riset dan pendidikan.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa mimpi-mimpi tersebut belum sepenuhnya berjalan sebagaimana mestinya.

Sejumlah tantangan klasik tampak belum terselesaikan:

  • Koordinasi antar pemangku kepentingan masih lemah.
  • Kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan Geopark masih minim.
  • Keterbatasan dana, teknologi, dan infrastruktur tetap menjadi batu sandungan.

Lebih dari itu, pelaksanaan prinsip bottom-up yang seharusnya memberdayakan masyarakat lokal justru tak jarang terjebak dalam pendekatan top-down yang kaku. Banyak komunitas sekitar geosite merasa hanya dijadikan objek, bukan subjek dalam pembangunan Geopark.

Rencana besar seperti Master Plan dan Rencana Aksi belum terlihat membumi dalam aksi konkret. Minimnya pengawasan serta evaluasi program membuat berbagai inisiatif mandek di tengah jalan, atau bahkan hanya berakhir sebagai laporan formal belaka.

Ironisnya, di tengah tantangan itu, terdapat berbagai peluang yang justru belum dimanfaatkan secara optimal. Geopark Toba memiliki potensi besar untuk:

  • Mengembangkan wisata edukatif dan berkelanjutan.
  • Menjadi pusat riset geologi dan konservasi alam.
  • Mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui UMKM dan wisata lokal.

Namun, belum terlihat adanya upaya serius yang mengarah pada integrasi semua potensi ini ke dalam program kemitraan yang sistematis dan berorientasi hasil. Banyak kegiatan kemitraan lebih sibuk dideklarasikan di media sosial daripada diimplementasikan secara nyata di lapangan.

Pencitraan atau Progres Nyata?

Kehadiran berbagai MoU dan MoA yang digadang sebagai bukti kemitraan seringkali tidak dibarengi dengan aksi nyata. Kegiatan yang dipamerkan di publik justru menimbulkan kecurigaan: jangan-jangan semua itu hanya “pencitraan” dan dokumen formal yang tersimpan rapi di lemari besi, tanpa dampak langsung bagi masyarakat dan lingkungan.

Jika pengelola Geopark Toba gagal menjawab tantangan ini secara strategis dan transparan, bukan tidak mungkin Green Card akan kembali menjauh. Apalagi saat ini, masyarakat dan komunitas internasional semakin kritis dalam menilai mana kemitraan yang sungguh-sungguh membangun, dan mana yang hanya sebatas formalitas administratif.

Untuk membuktikan bahwa Geopark Toba layak mendapatkan kembali Green Card, kemitraan yang dilakukan harus memenuhi sejumlah indikator kunci:

1.Kesetaraan hak dan kewajiban antar pihak.

2.Tujuan bersama yang terdefinisi jelas.

3.Komunikasi yang terbuka dan saling percaya.

4.Pelibatan aktif masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

5.Fokus pada pelestarian dan keberlanjutan.

6.Adanya mekanisme evaluasi dan pemantauan berkala.

7.Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan.

Geopark Kaldera Toba harus keluar dari jebakan retorika dan mulai memperlihatkan langkah konkret di lapangan. Apakah kemitraan yang selama ini digembor-gemborkan benar-benar berjalan? Apakah masyarakat sudah merasakan manfaatnya? Apakah kerjasama lintas sektor sudah terbukti membawa perubahan?

Kini semua mata tertuju pada akhir tahun 2025, momen krusial ketika UNESCO akan kembali menilai apakah Geopark Kaldera Toba layak mendapatkan pengakuan tertinggi berupa Green Card. Pertanyaannya: apakah semua kegiatan kemitraan yang dilakukan benar-benar membuahkan hasil atau sekadar menjadi dokumen indah dalam presentasi revalidasi?

Publik menanti bukti nyata, bukan hanya narasi optimistik.

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *