JAKARTA, JAYA POS – Praktik birokrasi ala “zaman lama” diduga masih bercokol di Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Jakarta Barat. Alih-alih memberikan pelayanan publik yang transparan, cepat, dan bebas pungutan liar seperti yang digaungkan pemerintah pusat, kenyataan di lapangan justru sebaliknya: berkas masyarakat bisa tertahan bertahun-tahun hanya karena tak memberi “upeti” kepada oknum petugas.
Hal ini dialami langsung oleh seorang warga bernama Mr. Lim, yang mengurus pendaftaran Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah seluas 45 meter persegi miliknya. Tanah tersebut telah ia beli secara sah melalui Akta Jual Beli (AJB) dari seorang bernama Enny pada Agustus 2011. Sebelumnya, Enny membeli tanah itu dari Junaedi berdasarkan AJB tahun 1994. Artinya, secara riwayat kepemilikan, tanah tersebut sudah ditempati oleh pemilik sah selama total 31 tahun.
Namun, sejak proses pengukuran dan pendaftaran tanah dimulai hampir setahun lalu, hingga kini sertifikat belum juga diterbitkan oleh ATR/BPN Jakarta Barat. “Proses pengurusan mandek tanpa alasan yang jelas. Saya bolak-balik menanyakan, tapi selalu tidak ada jawaban pasti,” ujar Mr. Lim.
Lebih parahnya lagi, Mr. Lim mengungkapkan bahwa proses pengurusan SHM terkesan dipersulit lantaran dirinya tidak memberikan “uang pelicin” kepada petugas-petugas yang dilalui proses berkasnya. “Petugasnya ramah di depan, tapi berkas saya seperti sengaja ditahan. Katanya, kalau tidak kasih ‘sesuatu’, jangan harap bisa selesai cepat,” keluhnya.
Birokrasi Terselubung dan Permainan “Bawah Meja”
Dugaan adanya praktik birokrasi tidak sehat ini juga diperkuat oleh investigasi informal yang dilakukan Mr. Lim dan pengakuan dari salah satu pengurus informal (biasa disebut “calo”) yang kerap membantu proses sertifikasi di kantor BPN tersebut.
“Pelayanan di luar memang terlihat bagus. Tapi kalau Anda tidak tahu jalur dalam atau tidak punya nomor petugas di setiap meja, jangan harap proses berjalan lancar. Kalau tidak memberi apa-apa, berkas bisa didiamkan begitu saja,” ungkap pengurus tersebut yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Kasus Mr. Lim semakin rumit ketika petugas menyatakan bahwa berkasnya bermasalah karena girik asli tidak ditemukan dalam arsip kelurahan. Ia diminta membuat surat pernyataan di atas materai. Namun, meski syarat tersebut telah dipenuhi, tetap saja prosesnya tidak bergerak.
Yang lebih ironis, menurut Mr. Lim, tetangganya yang mengurus sertifikat atas bidang tanah yang sama-sama tercantum dalam girik nomor 2700 tidak mengalami kendala apa pun. Bedanya, proses pengurusan dilakukan lewat biro jasa dengan biaya tinggi—dugaan kuat bahwa “jalur dalam” digunakan untuk memperlancar proses tersebut.
Pelanggaran Sistemik dan Lemahnya Pengawasan
Menyikapi hal ini, Direktur Eksekutif Government Against Corruption and Discrimination (GACD), Andar Situmorang, SH., MH., menilai bahwa fenomena ini merupakan bentuk pelanggaran sistemik terhadap pelayanan publik yang seharusnya transparan dan bebas dari pungli.
“Sudah tidak zamannya lagi warga harus menyuap agar mendapatkan haknya. Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa tidak boleh ada aparat yang mempersulit pelayanan publik. Bila terjadi, laporkan. Ini bentuk pelecehan terhadap reformasi birokrasi,” tegas Andar dengan nada geram.
Andar juga menyayangkan, ketika pemerintah telah mendorong masyarakat untuk segera mensertifikatkan tanah berbasis girik demi kepastian hukum, justru aparat sendiri yang menjadi penghambatnya. “Masalahnya bukan pada kesadaran masyarakat, tetapi pada sistem birokrasi yang justru menutup akses masyarakat terhadap hak legal mereka,” tambahnya.
Desakan Evaluasi dan Reformasi Total
Kasus seperti yang dialami Mr. Lim seharusnya menjadi alarm bagi Kementerian ATR/BPN untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh, terutama di unit-unit pelayanan di daerah yang masih menyimpan praktik feodal dan transaksional dalam urusan administrasi publik.
Sudah saatnya pengawasan internal diperketat, dan sistem pelaporan masyarakat diperkuat agar masyarakat tidak merasa sendirian saat berhadapan dengan praktik birokrasi koruptif. Laporan-laporan seperti ini, jika terus didiamkan, akan melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
Jika benar petugas ATR/BPN Jakarta Barat bermain mata dengan oknum biro jasa atau calo dalam pengurusan sertifikat tanah, maka ini bukan hanya pelanggaran etika, melainkan potensi tindak pidana korupsi yang harus diusut oleh aparat penegak hukum.
Ketika hal ini dikonfirmasi dengan Kepala Kantor ATR/BPN Jakarta Barat, Agus Setiyadi mengatakan “ Mohon ijin dan maaf, saya sedang cuti haji, baik saya tanyakan/cek ke petugas. Demikian Trima kasih.Salam hormat. Namun sampai hari ini dikeluarkannya berita ini belum juga diterima perkembangan sejauh mana perkembangan urusan Mr. Lim. (Red)