SAMOSIR, JAYA POS – Sejak ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp) pada 2020, Toba Caldera menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan status prestisius ini. Setelah mendapat “kartu kuning” dari UNESCO pada 28 Mei 2024, pihak pengelola diberi tenggat waktu dua tahun untuk menindaklanjuti empat rekomendasi kritis. Revalidasi dijadwalkan berlangsung pada Juli 2025, namun hingga pertengahan 2025, sejumlah persoalan mendasar masih membayangi.
Rekomendasi yang Tak Kunjung Dituntaskan
UNESCO telah mengeluarkan berbagai rekomendasi sejak 2015, namun sebagian besar belum diimplementasikan secara menyeluruh hingga 2023. Kegagalan ini menandakan lemahnya tata kelola dan minimnya keseriusan politis dalam pengelolaan geopark secara profesional dan berkelanjutan.
Empat fokus rekomendasi UNESCO mencakup:
1.Warisan Geologi dan Interpretasi
Banyak geosite belum memiliki panel interpretatif yang memadai secara ilmiah. Narasi geologi, termasuk sejarah letusan dan formasi kaldera, juga belum dikemas dengan baik.
2.Warisan Alam, Budaya dan Takbenda
Integrasi budaya lokal dalam geopark masih lemah, dan dokumentasi identitas budaya kurang maksimal.
3.Visibilitas dan Kemitraan
Branding geopark masih rendah, media sosial pasif, website tidak lengkap, dan kurang promosi berstandar internasional.
4.Jaringan dan Pelatihan
Partisipasi dalam jejaring global dan regional minim. Program pelatihan pun belum menyentuh akar kebutuhan pengelola dan masyarakat.
Evaluasi lapangan hingga Juni 2025 menunjukkan bahwa implementasi rekomendasi belum signifikan. Badan Pengelola (BP) Toba Caldera UGGp bahkan sempat vakum dua tahun dan baru aktif kembali pada Februari 2025. Koordinasi antar kabupaten juga masih bersifat seremonial.
Sementara itu, sebagian panel informasi memang sudah terpasang di beberapa geosite, namun kualitas dan distribusinya belum merata. Dari 16 lokasi yang diamati, mayoritas masih belum memenuhi standar UNESCO.
Dari segi promosi, alokasi dana Rp56,6 miliar dari Kemenparekraf belum menunjukkan dampak signifikan. Website masih belum optimal, dan strategi digital minim inovasi. Pelatihan serta keterlibatan dalam forum internasional seperti GGN/APGN pun masih terbatas, terhambat oleh kekurangan SDM dan dana.
Dokumen revalidasi diserahkan pada Februari 2025, namun belum tentu mencerminkan kondisi aktual menjelang asesmen. Banyak pejabat terfokus pada proses administratif dan rencana, bukan capaian konkret. Bahkan, keterlibatan kepala daerah di sekitar kawasan Danau Toba terkesan pasif dalam menyampaikan kesiapan mereka.
Permasalahan nomenklatur anggaran untuk kegiatan geopark juga belum jelas di sistem perencanaan nasional dan daerah, menyebabkan unit kerja terkait sulit mengalokasikan program konkret.
Beberapa persoalan mendasar justru tak menjadi fokus pemerintah, seperti kerusakan lingkungan di beberapa geosite, termasuk Pusuk Buhit, Haranggaol, dan Tipang, yang terdampak kebakaran hutan, penebangan liar, dan pencemaran air Danau Toba.
Selain itu, peran masyarakat lokal belum diberdayakan secara aktif dalam kegiatan konservasi dan edukasi. Prinsip UNESCO “Memuliakan bumi dan mensejahterakan rakyat” belum dijabarkan secara nyata.
Tumpang tindih tugas antar instansi juga menghambat efektivitas. Beberapa program edukasi dan promosi dilaksanakan tanpa koordinasi yang jelas dengan badan pengelola.
Belum Layak Mendapat Green Card
Melihat keseluruhan fakta di lapangan, upaya perbaikan yang dilakukan belum cukup substansial. Rekomendasi masih banyak yang bersifat normatif, aksi nyata belum terlihat merata di setiap geosite, dan peran kelembagaan belum solid.
Dengan demikian, Toba Caldera UGGp dinilai belum layak untuk kembali memperoleh Green Card pada akhir 2025. Diperlukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola, pelibatan masyarakat, serta pendekatan lintas sektor yang integratif dan berdampak.
Pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah perlu menyadari bahwa pengelolaan geopark bukan sekadar menjamu asesor internasional, melainkan wujud tanggung jawab ekologis, budaya, dan ekonomi yang harus dijalankan secara berkelanjutan. Hanya dengan komitmen nyata dan aksi di lapangan, status geopark dapat dipertahankan dan bermanfaat bagi generasi mendatang.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl._Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia )