SOLOK SELATAN, JAYA POS – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Solok Selatan yang menunjuk sejumlah perempuan sebagai Penjabat (PJ) Wali Nagari di wilayah adat Sungai Pagu, Koto Parik Gadang Diateh (KPGD), dan Pauh Duo menuai sorotan tajam dari tokoh adat dan masyarakat. Sorotan ini muncul karena pelantikan tersebut dianggap menabrak nilai-nilai budaya dan tatanan adat yang telah mengakar kuat di Alam Surambi Sungai Pagu.
Pada Minggu, 20 Juli 2025, sejumlah PJ Wali Nagari perempuan telah dilantik, di antaranya:
- PJ Wali Nagari Pulakek Kotobaru
- PJ Wali Nagari Pasar Muaralabuh
- PJ Wali Nagari Bomas
- PJ Wali Nagari Sako Pasia Talang
- PJ Wali Nagari Sako Selatan
- PJ Wali Nagari Sako Utara
Kondisi ini memicu keresahan di kalangan Niniak Mamak dan tokoh adat. Di warung-warung dan lapau, pembahasan ini menjadi topik hangat. Seorang pemuda yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa penempatan perempuan sebagai pemimpin nagari merupakan bentuk politisasi jabatan yang mencederai kehormatan budaya.
“Nagari adalah simbol adat dan budaya. Ini seperti pepatah, ‘Babaju lai basirawah’ – berbaju tapi tak bercelana. Kami beradat, tapi jadi tak beradab,” ujarnya dengan nada kecewa.
Tim Jaya Pos sempat mewawancarai Wakil Bupati Solok Selatan, Ir. H. Yulian Efi Datuak Urang Kayo Basau, yang juga berasal dari unsur adat. Saat ditemui usai menggelar aqiqah cucunya di Sungai Pagu, ia menyatakan bahwa pengangkatan PJ Wali Nagari telah sesuai dengan regulasi pemerintah.
“Pemerintah tidak mengganggu ranah adat. Bila dibutuhkan, jabatan PJ bisa diwakilkan oleh kaum pria,” ujarnya singkat.
Namun, pernyataan itu dianggap normatif dan tidak menjawab keresahan mendalam masyarakat adat.
Sementara itu, mantan Ketua KAN yang juga seorang tokoh adat dan mantan birokrat, mengungkapkan kekecewaannya saat ditemui di ladangnya dekat Sungai Suliti.
“Sejak dunia takambang, masyarakat Alam Surambi sangat menjunjung tinggi adat. Perempuan tidak mungkin duduk sejajar dalam forum musyawarah adat. Ini bukan persoalan gender, tapi struktur sosial dan nilai budaya yang sudah tertanam,” ujarnya.
Kritik juga datang dari mantan Ketua KAN Koto Parik Kecamatan KPGD, yang menilai penempatan perempuan sebagai PJ Wali Nagari adalah bentuk pelanggaran terhadap struktur adat Minangkabau, terutama dalam peran kepemimpinan adat yang didominasi oleh kaum laki-laki.
“Nagari ini bukan sekadar wilayah administratif, tapi simbol budaya. Bagaimana mungkin perempuan menjadi pemimpin dalam tatanan yang melibatkan Kerapatan Adat? Ini seperti menghapus tungku tigo sajarangan,” katanya dengan nada berat.
Seruan dari Tokoh Pemekaran: “Hentikan Politisasi di Wilayah Adat”
Irwandi S.B., tokoh pejuang pemekaran Kabupaten Solok Selatan, juga angkat suara. Ia meminta pemerintah menghentikan penempatan perempuan sebagai PJ Wali Nagari secara masif di kawasan adat Sungai Pagu Lama.
“Silakan lakukan di tempat lain jika ingin meratakan penempatan perempuan. Tapi jangan di Alam Surambi. Ini bukan hanya soal jabatan, tapi pelecehan terhadap struktur kepemimpinan adat yang sakral,” tegasnya.
Penolakan ini menunjukkan bahwa masih ada ketegangan antara kebijakan administratif modern dan sistem nilai adat yang kuat di masyarakat Minangkabau. Pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan dialog terbuka dan kajian mendalam sebelum mengambil kebijakan serupa, agar tidak menimbulkan kegaduhan sosial dan konflik nilai di tengah masyarakat adat. (EA)












