SAMOSIR, JAYA POS – Dari balik kabut lembut yang turun perlahan di atas air biru Danau Toba, suara seorang lelaki sepuh menggema, tegas namun penuh kasih:
“Selamatkan Danau Toba. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Kalimat itu bukan sekadar slogan. Ia adalah napas perjuangan bagi Dr. Wilmar Eliaser Simanjorang, akademisi, aktivis lingkungan, dan putra asli Samosir yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya untuk menjaga salah satu mahakarya Tuhan di bumi Nusantara — Danau Toba, danau vulkanik terbesar di dunia.
Dari Pemerintahan Menuju Pengabdian Alam
Lahir di Samosir, 11 November 1954, Dr. Wilmar pernah menduduki jabatan penting sebagai Penjabat Bupati Samosir (2004–2005). Namun setelah masa itu berakhir, ia memilih jalan yang lebih sunyi, namun jauh lebih bermakna — meninggalkan kenyamanan birokrasi untuk mengabdi kepada bumi tempat ia dilahirkan.
“Jabatan bisa berganti, tapi tanggung jawab terhadap alam tidak pernah berakhir,” ujarnya suatu ketika.
Sejak saat itu, langkahnya lebih sering terlihat di lereng bukit yang gundul daripada di ruang rapat. Kini, ia menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI), lembaga yang berperan aktif meneliti, mengedukasi, dan mengadvokasi pelestarian kawasan Geopark Kaldera Toba, warisan geologi dunia yang diakui UNESCO.
Suara Lewat Tulisan dan Aksi Nyata
Bagi Wilmar, perjuangan menyelamatkan Danau Toba tidak berhenti pada wacana. Ia menulis berbagai artikel di media nasional, menyoroti degradasi ekologi akibat deforestasi, pembakaran lahan, dan pencemaran air.
Dalam tulisannya yang terkenal, “Selamatkan Danau Toba: Kalau Tidak Sekarang, Kapan Lagi? Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?” (2023), ia menegaskan bahwa Danau Toba bukan sekadar destinasi wisata, tetapi laboratorium alam dan warisan spiritual umat manusia.
“Geopark itu bukan tempat selfie,” tegasnya. “Itu ruang edukasi dan pemberdayaan, tempat kita belajar menghargai bumi dan kehidupan.”
Perkataannya tak berhenti di kertas. Tahun 2011, ia memprakarsai penanaman ribuan pohon sengon di Desa Hutaginjang, lereng Dolok Pusuk Buhit, aksi yang kemudian mengantarkannya menerima Penghargaan Wana Lestari dari Kementerian Kehutanan.
Melawan Api, Menegur Kealpaan
Ketika kebakaran hutan melanda kawasan Danau Toba dalam beberapa tahun terakhir, Wilmar menjadi salah satu suara paling lantang menyerukan penegakan hukum.
Pada 2019 dan kembali pada 2025, ia turun langsung meninjau lokasi kebakaran di lereng Sianjur Mula-Mula, menyebutnya sebagai “bencana akibat aktivitas manusia dan lemahnya pengelolaan kawasan.”
Dalam audiensi bersama Kapolres Samosir (Juni 2025), ia menegaskan:
“Api yang membakar hutan bukan hanya merusak pohon. Ia membakar masa depan anak cucu kita.”
Geopark Kaldera Toba: Amanah dari Dunia
Sebagai kawasan UNESCO Global Geopark, Danau Toba memegang peran penting di mata dunia. Namun Wilmar mengingatkan, status internasional bukan hadiah, melainkan amanah.
Dalam diskusi pasca-revalidasi Geopark (Agustus 2025), ia menyoroti lemahnya manajemen, minimnya tenaga ahli geologi, dan regulasi yang belum optimal. Menurutnya, pelestarian Geopark harus berdiri di atas tiga pilar utama: konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal.
“Tanpa keseimbangan tiga pilar itu,” katanya, “Danau Toba akan kehilangan ruhnya sebagai warisan geologi dan budaya dunia.”

Selain berjuang di tataran kebijakan, Wilmar memimpin Etno Botani Batak Sigulatti — kawasan edukasi lingkungan seluas 22 hektare di Sianjur Mula-Mula. Lahan yang diserahkan masyarakat adat ini menjadi pusat pembibitan, penelitian tanaman endemik, dan sarana belajar bagi pelajar hingga mahasiswa.
Di sana, Wilmar sering tampak berjalan menyusuri kebun, ditemani anak-anak muda yang ia sebut “penjaga masa depan Toba.”
“Kalau generasi muda tidak mengenal tanahnya, bagaimana mereka akan menjaganya?” ujarnya.
Baginya, cinta terhadap alam bukan teori, melainkan tindakan nyata — menanam satu pohon, membersihkan satu sungai, berbicara satu kebenaran.
Wilmar tidak segan mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilainya belum berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
“Banyak proyek pariwisata hanya memoles permukaan. Alam Toba butuh perawatan, bukan sekadar promosi,” katanya dalam wawancara dengan Monitor Indonesia (2025).
Namun di balik ketegasannya, tersimpan kedalaman spiritual. Ia kerap menyebut bahwa alam adalah “kitab Tuhan yang terbuka”, yang harus dibaca dan dijaga oleh manusia.
“Danau Toba bukan sekadar geologi,” tulisnya. “Ia adalah teologi — jejak tangan Tuhan di tanah Batak.”
Kini, di usia lebih dari tujuh puluh tahun, semangat Wilmar tidak pudar. Ia masih menulis, menanam, berdiskusi, bahkan memantau titik api di lereng bukit. Baginya, mencintai alam adalah ibadah tanpa akhir.
“Semua orang bisa mulai dari langkah kecil,” pesannya lembut. “Jangan tunggu menjadi ahli. Mulailah dari halaman rumahmu sendiri — dari pohon pertama yang kau tanam.”
Menjaga Ciptaan Tuhan
Danau Toba bukan hanya kebanggaan Sumatera Utara. Ia adalah mahakarya Tuhan, saksi bisu dari letusan purba yang melahirkan keindahan abadi. Namun keindahan itu kini diuji — oleh kelalaian manusia sendiri.
Dr. Wilmar Eliaser Simanjorang telah menunjukkan bahwa cinta terhadap alam bukan sekadar kata, tetapi tindakan nyata yang menumbuhkan harapan. Ia mengingatkan kita semua: menjaga alam bukan tugas pemerintah semata, melainkan panggilan iman, tanggung jawab moral, dan bentuk syukur tertinggi atas ciptaan Tuhan.
“Kita tidak sedang menyelamatkan alam,” ucapnya suatu sore di tepian Toba.
“Kitalah yang sedang diselamatkan oleh alam.”
Melalui karya, keteladanan, dan dedikasinya, Dr. Wilmar Eliaser Simanjorang telah menanamkan satu pesan abadi:
Cinta sejati kepada bumi bukan hanya menikmati keindahannya, tetapi menjaga napasnya.
Sebab di setiap tetes air Danau Toba, tersimpan doa dan tanggung jawab kita semua.***
Oleh : Toni Limbong,SH, Pemimpin Redaksi Harian Jaya Pos












