SAMOSIR, JAYA POS – Dalam beberapa waktu terakhir, istilah “naik kelas” kerap terdengar dalam perbincangan publik, terutama di media sosial dan grup WhatsApp warga. Tak jarang, pernyataan semacam itu bahkan dilontarkan oleh pejabat struktural—seperti Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo)—secara terbuka kepada masyarakat.
Klaim ini tentu mengundang perhatian. Namun, muncul pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan untuk menyatakan bahwa sebuah kabupaten telah “naik kelas”? Apakah semua pejabat publik bebas menyampaikannya tanpa dasar resmi?
Istilah Populer yang Tidak Formal
Perlu ditegaskan bahwa istilah “naik kelas” tidak dikenal dalam nomenklatur resmi pemerintahan daerah, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Penilaian terhadap kinerja pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme evaluatif yang ketat dan teknokratis, seperti Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) yang dinilai oleh Kementerian Dalam Negeri. Tidak ada istilah “naik kelas” yang bersifat administratif dalam dokumen atau regulasi resmi pemerintah.
Artinya, penggunaan istilah tersebut hanya dapat dipahami sebagai ekspresi sosial atau narasi simbolik, bukan penilaian resmi atas kinerja pemerintahan daerah.
Evaluasi Kinerja Daerah: Berdasarkan Data, Bukan Klaim Pribadi
Kemajuan sebuah daerah tidak dapat disimpulkan hanya dari opini atau narasi individual. Ia harus melalui proses evaluasi resmi berdasarkan indikator objektif seperti:
-
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
-
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
-
Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)
-
Opini audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
-
Nilai SAKIP dan Indeks Reformasi Birokrasi dari Kementerian PAN-RB
Evaluasi terhadap indikator tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang seperti Kemendagri, Kementerian PAN-RB, Bappenas, BPK, dan lembaga independen lainnya yang memiliki kredibilitas dan otoritas.
Dengan demikian, klaim “naik kelas” tidak bisa disampaikan secara sepihak oleh satu dinas atau individu—apalagi tanpa proses evaluasi resmi dan data yang tervalidasi.
Peran Kominfo: Menyampaikan, Bukan Menyimpulkan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, Dinas Kominfo memiliki fungsi utama sebagai penyampai informasi pemerintahan dan pelayanan publik, bukan sebagai lembaga penilai kinerja daerah.
Dengan kata lain, Kepala Dinas Kominfo tidak memiliki kewenangan administratif maupun legal untuk menyatakan bahwa sebuah kabupaten telah “naik kelas”. Bila klaim itu disampaikan ke publik tanpa dasar yang kuat dan otorisasi resmi dari kepala daerah atau lembaga evaluator, maka pernyataan tersebut berpotensi menyesatkan masyarakat dan melampaui batas kewenangan jabatan.
Etika Komunikasi Publik dan Tanggung Jawab Pejabat
Dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), setiap pejabat publik harus menjunjung tinggi akuntabilitas, profesionalisme, dan integritas. Hal ini juga tercermin dalam Kode Etik PNS (PP No. 42 Tahun 2004) yang mengharuskan pejabat bertindak secara objektif, jujur, dan demi kepentingan publik.
Lebih jauh, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengatur bahwa penyampaian informasi oleh pejabat publik harus faktual, tidak menyesatkan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pernyataan yang tidak akurat atau bersifat klaim sepihak dapat mencederai kepercayaan publik dan melanggar etika pemerintahan.
Menjaga Kredibilitas Pemerintah Daerah
Pejabat publik, termasuk Kepala Dinas Kominfo, harus memahami batas-batas kewenangan institusional dan fungsionalnya. Komunikasi publik bukan sekadar menyampaikan pesan optimistik, tapi juga menyampaikan informasi yang benar, akurat, dan berbasis data.
Kemajuan daerah memang layak diapresiasi—jika didukung oleh data sahih dan diakui melalui evaluasi resmi. Namun, menyatakan bahwa sebuah kabupaten telah “naik kelas” tanpa landasan hukum dan otoritas yang jelas, adalah langkah prematur yang bisa menyesatkan persepsi publik.
Kredibilitas pemerintahan tidak hanya dinilai dari apa yang dicapai, tetapi juga dari cara capaian itu dikomunikasikan kepada rakyat. Komunikasi yang etis, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan adalah fondasi dari kepercayaan publik terhadap pemerintah.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si












