SAMOSIR, JAYA POS – Berdiri gagah di barat Danau Toba, Sumatera Utara, Gunung Pusuk Buhit menjulang setinggi 1.800 meter di atas permukaan laut. Namun, bagi masyarakat Batak, gunung ini bukan sekadar gugusan tanah tinggi—melainkan nadi peradaban, pusat spiritual, dan simbol warisan leluhur yang sakral.
Secara geologi, Pusuk Buhit adalah fenomena langka. Ia tidak terbentuk oleh letusan seperti gunung berapi pada umumnya, tetapi oleh proses pengangkatan kerak bumi (uplift) akibat sisa tekanan magma setelah letusan dahsyat Supervulkanik Toba sekitar 74.000 tahun lalu. Letusan itu membentuk kaldera raksasa yang kini menjadi Danau Toba, sementara aktivitas magma di bawahnya mendorong lapisan kerak naik membentuk puncak-puncak seperti Pusuk Buhit.
“Gunung ini bukan hasil letusan aktif. Pembentukannya berasal dari tekanan vertikal sisa dapur magma, dan saat ini berada dalam fase stabil,” jelas peneliti Badan Geologi PVMBG. Meski demikian, mereka menegaskan bahwa pemantauan tetap diperlukan karena kawasan Toba masih aktif secara seismik dan geotermal.
Namun, bagi masyarakat Batak, narasi ilmiah itu hanya melengkapi sebuah keyakinan yang jauh lebih dalam. Di kaki Pusuk Buhit, tepatnya di Desa Sianjur Mula-Mula, dipercaya berdiri kampung pertama suku Batak, tempat berdiamnya Si Raja Batak. Dari sinilah budaya, adat, dan marga menyebar ke seluruh Tanah Batak. Tidak heran jika dalam setiap upacara adat Batak, selalu terdengar umpasa:
“Sianjur mula-mula, sianjur mula tompa; Mula ni huta, mula ni jolma dohot mula ni somba.”
Gunung ini menjadi simbol kosmologi Batak—pohon kehidupan yang setiap jengkal tanahnya dianggap suci.
“Kalau Gunung Pusuk Buhit rusak, itu bukan sekadar gunung yang terbakar. Itu harga diri yang ikut terbakar,” ungkap seorang tokoh adat. Sebagai bentuk perlawanan spiritual terhadap bencana, masyarakat bahkan menggelar ritual tolak bala pasca-kebakaran.
Di tubuh Pusuk Buhit tersebar situs-situs penting: rumah adat Bolon yang masih ditinggali, batu keramat, altar leluhur, mata air suci (mual), serta jejak geologi purba yang menjadikannya laboratorium alam terbuka. Kawasan ini adalah geosite hidup, tempat spiritualitas, sejarah, dan ilmu pengetahuan berkelindan.
Sejak tahun 2012, Pusuk Buhit menjadi bagian dari Toba Caldera UNESCO Global Geopark. Sebuah pengakuan dunia yang sejatinya membawa tanggung jawab: menjaga bentang alam, keanekaragaman hayati, dan nilai budaya Batak sebagai satu kesatuan warisan dunia.
Namun kenyataan berkata lain. Pada Juli 2025, kawasan puncak Gunung Pusuk Buhit dilanda kebakaran hebat. Asap membumbung dua hari lamanya, membakar semak, ranting, dan bahkan mendekati situs sakral. Tanah hitam gosong menggantikan hijaunya lereng suci.
Menurut warga, kebakaran dipicu oleh ulah vandalisme, entah karena kesengajaan atau akibat puntung rokok pengunjung yang dibuang sembarangan. Musim kering membuat api cepat menjalar. Lebih menyedihkan lagi, aparat belum berhasil mengungkap pelaku untuk memberi efek jera.
“Yang paling memilukan bukan hanya api. Tapi tumpukan sampah—bungkus makanan, botol plastik—yang menggunung di sekitar batu keramat,” keluh seorang penjaga situs.
Ancaman terhadap Pusuk Buhit bukan dari magma, tetapi dari manusia. Dari pengunjung yang abai akan kesakralan, dari minimnya edukasi ekologis, buruknya pengelolaan wisata, hingga abainya pemerintah desa hingga kabupaten dalam menjaga warisan budaya.
Pusuk Buhit dan kawasan Sianjur Mula-Mula adalah rahim peradaban Batak. Dari sinilah tumbuh nilai-nilai Dalihan Na Tolu, sistem marga, dan gotong royong dalam masyarakat. Sayangnya, kini di tempat itu lebih mudah ditemukan bungkus mi instan daripada nilai sakral.
Label “Geopark Dunia” atau pengakuan UNESCO tidak berarti apa-apa jika masyarakat di sekitarnya kehilangan tanah sakral mereka karena rusak dan tercemar.
“Kalau UNESCO saja yang bangga, tapi masyarakat lokal kehilangan kesucian leluhur mereka, itu pengakuan semu,” ungkap warga dengan getir.
Gunung Pusuk Buhit mengajarkan dua hal: bahwa alam mampu memperbarui dirinya sendiri, tapi juga bisa hancur oleh ketidakpedulian manusia.
Kini waktunya menjaga bukan hanya oleh masyarakat Batak, tapi oleh kita semua—bangsa Indonesia. Sebab menjaga Pusuk Buhit berarti menjaga akar budaya, iman ekologis, dan jati diri bangsa.
Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana: tidak membuang sampah sembarangan, menghormati tanah leluhur, dan mematuhi aturan di kawasan sakral. Kesadaran kecil bisa membentuk perubahan besar.
Karena ketika kita menjaga Pusuk Buhit, sejatinya kita sedang menjaga diri kita sendiri.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec.,M.Si (Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan )