SAMOSIR, JAYA POS – Di jantung Pulau Samosir, yang terletak di dalam kaldera megah Danau Toba, tersembunyi sebuah paradoks: di tengah kekayaan air alami berupa mata air dan air terjun, masih banyak desa yang kesulitan mendapatkan akses air bersih.
Kondisi ini bukan sekadar tantangan logistik—ia berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, menekan produktivitas pertanian, dan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Lebih jauh, krisis iklim global memperburuk keadaan: memperpanjang musim kering, menurunkan kelembapan tanah, dan mengurangi kapasitas lahan dalam menyimpan serta menyalurkan air.
Namun di tengah keterbatasan itu, harapan mengalir dari atas—secara harfiah.
Salah satu solusi paling menjanjikan dan cocok dengan kondisi geografis Samosir adalah sistem penyediaan air berbasis gravitasi. Sistem ini memanfaatkan ketinggian alami sumber air seperti mata air dan air terjun di dataran tinggi untuk mengalirkan air ke pemukiman dan lahan pertanian di bawahnya, tanpa membutuhkan energi listrik atau bahan bakar.
Dengan topografi perbukitan dan kelimpahan sumber air di dataran tinggi, Samosir menjadi lahan ideal untuk menerapkan sistem ini. Lebih murah, minim biaya operasional, dan ramah lingkungan—teknologi ini menawarkan keberlanjutan yang sesungguhnya.
Empat Sumber, Satu Visi: Air untuk SemuaEmpat lokasi air terjun kini telah ditetapkan sebagai prioritas pengembangan sistem air gravitasi:
-
Air Terjun Sitapigagan – Desa Bonandolok
-
Air Terjun Aek Nasogop – Desa Sianjur Mula-Mula
-
Air Terjun Limbong – Desa Singkap
-
Air Terjun Efrata – Desa Sosor Dolok
Keempatnya terletak di kawasan hutan lindung atau hutan rakyat dengan debit air yang stabil—dan yang lebih penting, memiliki potensi menjangkau desa-desa yang belum tersentuh layanan air bersih resmi.
Berbeda dari sistem air konvensional yang fokus pada kebutuhan domestik, sistem gravitasi ini dirancang multifungsi: tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga irigasi pertanian, peternakan kecil, bahkan menunjang industri rumahan berbasis hasil tani.
Dengan begitu, air menjadi katalis: meningkatkan ketahanan pangan, produktivitas, dan pendapatan masyarakat desa—sekaligus mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), antara lain:
-
SDG 6: Akses Air Bersih dan Sanitasi
-
SDG 2: Ketahanan Pangan
-
SDG 13: Aksi Iklim
-
SDG 15: Pelestarian Ekosistem Daratan
Gravitasi vs Mekanis: Mengapa Harus Kembali ke Alam
Aspek | Sistem Gravitasi | Sistem Pompa / Sumur Bor |
---|---|---|
Biaya Operasional | Hampir Nol | Tinggi (listrik/bahan bakar) |
Ketergantungan Energi | Tidak ada | Sangat tinggi |
Keandalan | Stabil (selama ekosistem terjaga) | Rentan terhadap gangguan teknis/listrik |
Dampak Lingkungan | Sangat ramah lingkungan | Risiko over-ekstraksi airtanah |
Skala Pelayanan | Ideal untuk desa dan pertanian kecil | Terbatas atau terlalu mahal |
Infrastruktur, Tata Kelola, dan Sinergi Kebijakan
Untuk memastikan keberhasilan sistem ini, diperlukan sinergi antara teknologi, tata kelola, dan regulasi, mencakup:
-
Survei teknis: debit air, topografi, dan kualitas air
-
Pembangunan infrastruktur: intake, bak penampung, dan jaringan pipa
-
Pembentukan Lembaga Pengelola Air Masyarakat (LPAM)
-
Izin pemanfaatan kawasan hutan dari KLHK (jika sumber berada di kawasan lindung)
-
Pelatihan teknis untuk masyarakat dalam pemeliharaan dan operasional sistem
Pendanaan dapat bersumber dari APBDes, disinergikan dengan CSR perusahaan, APBD, hingga program nasional seperti PAMSIMAS dan PU-DC.
Tidak ada air tanpa hutan. Sumber air dari kawasan lindung hanya akan tetap stabil jika vegetasi dan ekosistem sekitarnya terjaga. Maka, sistem ini harus berjalan seiring dengan konservasi hutan dan reboisasi partisipatif. Perlindungan area tangkapan air juga berperan vital dalam mitigasi bencana seperti longsor dan kekeringan.
Program ini bukan hanya soal air—ia adalah bagian dari strategi konservasi menyeluruh dalam kawasan UNESCO Global Geopark Danau Toba. Dalam lanskap geopark, pelestarian air dan hutan berarti menjaga keberlanjutan geologi, ekosistem, dan budaya yang telah hidup berdampingan selama ribuan tahun.
Di sisi lain, di tengah perubahan iklim yang semakin nyata, pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan air adalah strategi adaptasi yang rasional, murah, dan adil.
Sistem air gravitasi di Samosir adalah lebih dari solusi lokal—ia bisa menjadi prototipe nasional untuk daerah-daerah perbukitan dengan kekayaan sumber daya alam namun infrastruktur terbatas.
Dengan sinergi lintas sektor, dukungan kebijakan, dan keterlibatan masyarakat, Samosir bisa menjadi pelopor ketahanan air berbasis komunitas—menjadi teladan dalam merawat warisan, menjaga air, dan membangun masa depan yang berdaulat dan berkelanjutan.
Air bukan hanya kebutuhan. Ia adalah warisan. Ia adalah harapan. Dan dari Samosir, harapan itu terus mengalir.
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si (Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan)