SAMOSIR, JAYA POS – Tragedi tahunan kembali menyelimuti perbukitan indah di sekitar Danau Toba. Pada Sabtu malam, 19 Juli 2025, api melalap kawasan perbukitan di sekitar Menara Pandang Tele, tepatnya di wilayah Turpuk Limbong, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Sedikitnya 3 hektar lahan hangus terbakar, menghancurkan vegetasi alami, membakar sebuah warung, dan merusak berbagai barang milik warga sekitar.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ini bukanlah peristiwa pertama, bahkan bukan yang terbesar. Namun, yang paling mengkhawatirkan bukan sekadar api yang menyala, melainkan apatisme masyarakat yang menyertainya. Sebagian warga menyebut peristiwa ini sebagai “agenda tahunan musim kemarau”, sebuah istilah yang mencerminkan normalisasi bahaya dan pelecehan terhadap kerusakan ekologis yang terus terjadi.
“Kebakaran hutan di Samosir sudah biasa. Setiap musim kemarau pasti terjadi, karena angin kencang dan lahan kering. Jadi tidak perlu panik,” ujar seorang warga setempat ketika diwawancarai pada Minggu, 20 Juli 2025.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Samosir, sejak tahun 2015 hingga 2025, kebakaran hutan dan lahan tercatat terjadi hampir setiap tahun, dengan rata-rata luas terbakar mencapai 2–5 hektar per kejadian. Tahun 2023 saja, lebih dari 4 hektar lahan hangus terbakar di wilayah Kecamatan Harian.
Pantauan satelit Terra dan Aqua milik NASA juga mengonfirmasi adanya hotspot aktif di kawasan sekitar Danau Toba selama musim kemarau. Artinya, ini bukan insiden lokal atau sporadis, melainkan sebuah pola kebakaran tahunan yang terus berulang—dan cenderung meningkat seiring perubahan iklim global.
Pandangan bahwa kebakaran adalah “hal biasa” menunjukkan kegagalan kolektif dalam memahami skala krisis ekologis. Membiarkan api melahap hutan setiap tahun sama saja dengan membiarkan “alarm kebakaran” berbunyi terus-menerus, sampai pada akhirnya tidak ada yang mendengar lagi ketika benar-benar terjadi bencana besar.
“Ini bukan tradisi, ini kelalaian yang diulang-ulang. Membakar hutan untuk membuka lahan atau karena kecerobohan harus dianggap sebagai tindakan kriminal terhadap lingkungan,” ujar Dr. Ervina Simorangkir, pakar lingkungan dari Universitas Sumatera Utara.
Ironisnya, anggapan bahwa karhutla adalah “tradisi tahunan” justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya Batak. Dalam budaya Batak, dikenal konsep tokka, yakni larangan adat terhadap tindakan merusak alam, termasuk pembakaran hutan.
“Dalam tradisi Batak, hutan bukan sekadar ruang biologis, tapi juga spiritual. Ada tempat-tempat yang dianggap sakral dan tidak boleh diganggu. Pembakaran sembarangan bertentangan dengan nilai tokka,” tegas Opung Jannerson Simbolon, tokoh adat dari Kecamatan Harian.
Dalam sejarahnya, masyarakat Batak menjaga alam sebagai bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup. Hutan, sungai, dan gunung dianggap sebagai “pusaka leluhur” yang wajib dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Jika sikap permisif terhadap karhutla terus dibiarkan, bukan hanya hutan yang musnah—identitas budaya pun ikut terkikis.
Geopark Danau Toba dalam Bahaya: Jangan Sampai Dunia Melihat Kita Gagal
Samosir dan kawasan Danau Toba adalah bagian dari Geopark Global UNESCO, status prestisius yang diberikan karena kekayaan geologi, ekologi, dan budaya. Namun status ini bukan sekadar penghargaan—melainkan komitmen internasional untuk melindungi dan melestarikan alam.
Kebakaran berulang secara langsung mengancam status geopark ini. Bila kondisi ini terus berlangsung, evaluasi ulang dari UNESCO bisa terjadi, dan status Geopark bisa dicabut. Ini akan berdampak buruk terhadap pariwisata, ekonomi masyarakat lokal, dan citra Indonesia di mata dunia.
“UNESCO telah memperingatkan bahwa kerusakan ekologis dapat menjadi alasan penurunan status geopark. Samosir harus bersungguh-sungguh dalam melindungi lingkungannya,” kata Prof. Ahmad Harahap, anggota Komite Nasional Geopark Indonesia.
Pemerintah daerah, lembaga adat, komunitas lokal, dan generasi muda harus duduk bersama dan menetapkan arah baru dalam mengelola alam. Pembakaran hutan, baik disengaja maupun akibat kelalaian, harus dihentikan dengan pendekatan hukum, edukasi, dan rekonstruksi nilai sosial.
- Beberapa langkah konkret yang harus segera dilakukan:
- Pendidikan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal di sekolah-sekolah.
- Sanksi tegas terhadap pelaku pembakaran lahan.
- Pelatihan pemadaman dan mitigasi bagi masyarakat desa sekitar hutan.
- Revitalisasi peran tokoh adat dan agama dalam membangun kesadaran kolektif.
- Pemanfaatan teknologi seperti drone dan sistem peringatan dini untuk deteksi dini kebakaran.
Kebakaran hutan bukanlah takdir, melainkan hasil dari kelalaian kolektif. Danau Toba bukan sekadar pemandangan indah, tapi sumber kehidupan, kebudayaan, dan harapan bagi masa depan. Jangan biarkan anak cucu kita hanya mendengar legenda keindahannya dari cerita orang tua—saatnya kita menjaga warisan itu mulai hari ini.
Karhutla bukan agenda tahunan. Itu alarm—dan sudah terlalu sering diabaikan.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si (Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan)