BeritaHeadline

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir: Kekerasan Struktural di Tano Batak yang Terus Berulang

218
×

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir: Kekerasan Struktural di Tano Batak yang Terus Berulang

Sebarkan artikel ini
Penggusuran dengan kekerasan yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari terhadap Masyarakat Adat Natinggir di Desa Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba membuat seorang warga menjadi korban dan dilarikan kerumah sakit.

SUMATERA UTARA, JAYA POS — Krisis agraria di kawasan Danau Toba kembali mencapai titik nadir. PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan raksasa bubur kertas milik taipan Sukanto Tanoto, kembali menjadi sorotan setelah melakukan aksi kekerasan dan penggusuran terhadap Masyarakat Adat Natinggir di Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Insiden yang terjadi pada Kamis, 7 Agustus 2025 ini tidak hanya mencerminkan keberlanjutan praktik kolonialisme tanah oleh korporasi, tetapi juga menjadi bukti nyata pembiaran negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara sistematis.

Aparat Perusahaan Menyerbu Wilayah Adat: Satu Orang Terluka, Anak-anak Jadi Korban

Sejak pukul 08.00 WIB, ratusan karyawan dan petugas keamanan perusahaan bersenjata lengkap merangsek masuk ke wilayah adat Natinggir. Mereka memaksa mengambil alih lahan pertanian yang secara turun-temurun dikuasai dan diolah oleh Masyarakat Adat, untuk kembali ditanami eukaliptus — komoditas utama industri pulp milik TPL.

Masyarakat yang mencoba bertahan dan menolak aksi penanaman kembali itu dihadang dengan kekerasan brutal. Satu orang mengalami luka serius di bagian leher, dan sejumlah warga lainnya mengalami kekerasan fisik dan intimidasi. Bahkan, rumah-rumah masyarakat dilempari batu, padahal saat itu terdapat anak-anak yang berada di dalam rumah. Tindakan ini tidak hanya mencerminkan pelanggaran terhadap hak atas tanah, tapi juga mencederai hak-hak dasar anak dan perempuan, serta mengancam keselamatan warga secara umum.

Empat orang staf Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang sedang mendampingi masyarakat juga menjadi sasaran serangan. Kejadian ini mengungkapkan pola kekerasan yang tidak hanya menyasar warga adat, tetapi juga para pendamping yang selama ini berjuang di garis depan pembelaan hak-hak masyarakat.

TPL dan Kekerasan Agraria yang Sistemik di Sumatera Utara

Aksi terbaru ini memperpanjang daftar panjang kejahatan agraria PT TPL yang selama lebih dari empat dekade menguasai secara sepihak tanah seluas 291.263 hektar di Sumatera Utara. Berdalih sebagai pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI), perusahaan ini telah merampas wilayah adat milik sedikitnya 23 komunitas adat di 12 kabupaten, dengan luas mencapai 33.422,37 hektar.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa dampak dari operasi TPL telah menyebabkan:

  • 2 orang meninggal dunia,

  • 208 orang mengalami penganiayaan,

  • 260 orang dikriminalisasi secara hukum,

  • 470 masyarakat adat kehilangan hak dan akses terhadap tanah mereka.

Belum termasuk dugaan praktik perbudakan modern yang menimpa para buruh perusahaan dalam rantai produksi TPL, yang selama ini luput dari perhatian publik dan negara.

Legalitas Dipertanyakan: Konsesi TPL Sarat Pelanggaran Konstitusional dan Maladministrasi

Operasi TPL tidak hanya melanggar hak-hak masyarakat adat, tetapi juga berdiri di atas fondasi hukum yang cacat. Konsesi HTI TPL menyentuh wilayah-wilayah hutan yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Tetap (HP), dan bahkan Areal Penggunaan Lain (APL). Setidaknya 28% dari konsesi TPL — atau sekitar 52.668 hektar — tergolong ilegal secara hukum karena berada di luar kawasan yang seharusnya diizinkan untuk konsesi industri.

Selain itu, penunjukan kawasan hutan oleh negara di Sumatera Utara hingga hari ini belum melalui tahap penetapan sesuai amanat Undang-Undang Kehutanan. Artinya, klaim sepihak negara atas hutan sebagai “milik negara” tanpa partisipasi masyarakat adat adalah bentuk maladministrasi kehutanan, manipulasi prosedural, dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dengan kata lain, keberadaan dan operasi TPL bukan hanya praktik bisnis, melainkan bentuk kolonialisme agraria yang difasilitasi negara — di mana aparat dan hukum berpihak pada modal, bukan pada rakyat.

Sumatera Utara: Episentrum Konflik Agraria di Indonesia

Provinsi ini menjadi titik panas konflik agraria nasional. Menurut data KPA (Catahu 2015–2024), dalam 10 tahun terakhir terjadi setidaknya 275 letusan konflik agraria di wilayah seluas 655.285 hektar, berdampak pada lebih dari 227.000 rumah tangga. Mayoritas konflik melibatkan konsesi HTI, HGU, dan proyek-proyek skala besar seperti pertambangan dan pariwisata.

Kondisi ini menandakan bahwa negara telah gagal menjamin hak konstitusional masyarakat atas tanah dan sumber daya alam. Bukannya hadir melindungi rakyat, negara justru menjadi fasilitator bagi korporasi-korporasi besar seperti TPL untuk terus melakukan ekspansi atas nama pembangunan, tanpa mempedulikan dampak ekologis, sosial, dan budaya.

Tuntutan Tegas dari Masyarakat Sipil

KPA dan KSPPM dengan tegas menyatakan bahwa kekerasan dan penggusuran oleh TPL adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran HAM berat, dan pengingkaran terhadap konstitusi. Oleh karena itu, kami menyampaikan tuntutan tegas kepada seluruh pemangku kebijakan:

  1. PT Toba Pulp Lestari (TPL) segera menghentikan semua operasi dan ekspansi ilegal di wilayah adat Natinggir dan kawasan adat Tano Batak lainnya, serta bertanggung jawab atas tindak kekerasan yang terjadi, terutama terhadap perempuan dan anak-anak;

  2. Kapolres Toba dan aparat penegak hukum segera melakukan investigasi independen dan menyeluruh, serta menindak tegas pelaku kekerasan dan perusakan terhadap warga dan pendamping masyarakat;

  3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin HTI TPL yang terbukti cacat secara hukum dan melanggar prinsip-prinsip perlindungan masyarakat adat;

  4. Kementerian ATR/BPN dan KLHK segera melepaskan klaim negara atas wilayah adat dan mengakui hak-hak masyarakat adat secara hukum dan faktual melalui penetapan wilayah adat;

  5. Presiden Republik Indonesia agar menjalankan Reforma Agraria sejati, menata ulang struktur penguasaan tanah yang timpang, serta mengembalikan hak atas tanah kepada rakyat, bukan korporasi.

Kasus Natinggir adalah satu dari sekian banyak tragedi yang menimpa komunitas adat di Indonesia. Namun ini bukan akhir. Masyarakat Adat Tano Batak terus menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam melihat tanah leluhur mereka dihancurkan demi kepentingan korporasi. Perlawanan ini bukan sekadar konflik lahan — ini adalah perjuangan untuk keadilan, martabat, dan masa depan generasi penerus.

Jika negara terus membiarkan kejahatan ini berlangsung, maka yang akan runtuh bukan hanya hutan, tetapi juga legitimasi moral pemerintahan itu sendiri.

(RED)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *