SOLOK SELATAN, JAYA POS — Proyek strategis nasional Pengembangan Tahap II Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Muaralaboh yang dikelola oleh PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML), kini tengah disorot tajam publik. Pasalnya, penggunaan material galian C oleh kontraktor utama PT IKPT serta sejumlah perusahaan subkontraktor diduga tidak disertai dengan kejelasan legalitas dan keterbukaan informasi, yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam pelaksanaan proyek berbiaya triliunan rupiah ini.
Penandatanganan kontrak pengerjaan proyek ini telah dilakukan sejak 18 April 2025 lalu. Namun seiring waktu berjalan, pelaksanaan di lapangan justru menimbulkan sejumlah tanda tanya besar, terutama terkait penggunaan material timbunan seperti pasir, kerikil, dan batu yang termasuk dalam kategori galian C.
Pengerjaan Besar, Material Masif, Legalitas Dipertanyakan
Pembangunan berbagai fasilitas pendukung seperti kantor operasional, area parkir kendaraan berat dan pejabat perusahaan, serta infrastruktur jalan utama, jelas memerlukan volume material dalam jumlah besar. Di sinilah mulai muncul pertanyaan krusial: dari mana asal material-material tersebut? Apakah perusahaan atau subkontraktornya telah mengantongi izin resmi sebagai penyedia galian C? Dan apakah transaksi pembelian material dari masyarakat lokal telah dilakukan sesuai dengan standar harga yang adil?
Informasi di lapangan menyebutkan, sebagian besar pasir yang digunakan dalam proyek berasal dari aliran Sungai Batang Suliti, tepatnya dari wilayah Desa Pasir Talang, Kecamatan Sungai Pagu. Wilayah ini memang selama ini dikenal sebagai penyedia pasir alam, namun legalitas pengambilan material dalam jumlah besar dan proses distribusinya ke proyek PLTP Muaralaboh hingga kini belum pernah diumumkan secara terbuka ke publik.
Janji Transparansi Hanya di Awal, Realisasinya Nol
Pada Kamis, 15 Agustus 2025 lalu, pihak PT IKPT mengundang tim Jaya Pos Group ke kantor proyek dalam rangka pertemuan yang dikemas sebagai ajang silaturahmi. Dalam forum yang berlangsung dari pukul 17.00 hingga 21.00 WIB tersebut, perwakilan perusahaan sempat menjanjikan komitmen untuk menjaga prinsip Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Pihak IKPT bahkan menyatakan kesediaannya untuk memberikan daftar subkontraktor yang terlibat, lengkap dengan data pekerjaan serta informasi kontak yang bisa dihubungi oleh wartawan. Namun, hingga berita ini diturunkan, janji tersebut tidak pernah dipenuhi. Bahkan ketika ditanya langsung melalui pesan WhatsApp, salah satu pejabat IKPT, Pak Tomi, justru berdalih bahwa dirinya tidak pernah berjanji untuk memberikan informasi tersebut. Pernyataan serupa disampaikan oleh bagian humas, Ibu Dila, yang memilih bungkam atas berbagai pertanyaan terkait transparansi proyek.
Sikap tertutup ini tentu saja menimbulkan kekecewaan besar, tidak hanya dari kalangan media, tetapi juga dari masyarakat lokal dan akademisi.
Akademisi: Jangan Bungkam Kritik, Hentikan Pembodohan Publik
Drs. Op. Bismar, MM, Ketua Jurusan di Yayasan Kampus Widyaswara Indonesia, menanggapi tegas ketertutupan ini. Ia menyebut bahwa dalam proyek sebesar ini, keterbukaan informasi bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi merupakan kewajiban hukum dan sosial.
“Jangan bungkam kritik. Jangan alergi terhadap pertanyaan publik. Wartawan itu menjalankan fungsi kontrol sosial yang dijamin undang-undang. Apalagi proyek ini menyangkut energi nasional, menggunakan sumber daya alam, dan dilakukan di wilayah masyarakat yang rentan terhadap dampaknya,” ujar Bismar.
Ia menekankan bahwa semua aktivitas pengambilan material alam seperti pasir dan batu harus berasal dari perusahaan yang berizin resmi, bukan dari penyedia ilegal yang bisa merusak lingkungan dan merugikan negara dari sisi pajak dan retribusi.
Lebih jauh, Bismar juga menyoroti soal harga beli material dari masyarakat. Ia mendesak agar PT IKPT maupun subkontraktornya tidak membeli material dengan harga di bawah standar nasional.
“Jangan sampai pasir masyarakat diperlakukan seperti ‘pasir subsidi kampung’. Itu eksploitasi. Perusahaan besar harus beretika. Harga harus adil dan menguntungkan kedua belah pihak,” tegasnya.
PT SEML Harus Bertindak: Jangan Lepas Tangan
Sebagai pemilik proyek (project owner), PT SEML Supreme Energy juga ikut menjadi sorotan. Menurut Bismar, PT SEML tidak bisa hanya bersikap sebagai pengawas pasif. Mereka wajib melakukan audit dan pengawasan ketat terhadap kontraktor utama, termasuk dalam urusan legalitas pemasok material.
Jika terbukti ada pelanggaran dalam pengadaan material galian C, PT SEML harus segera memberikan sanksi kepada PT IKPT maupun subkontraktornya. Apalagi proyek ini menyangkut masa depan energi nasional berbasis geothermal yang ramah lingkungan, jangan sampai justru mencemari prinsip itu dengan praktik bisnis yang tak transparan.
Kesimpulan: Proyek Strategis, Tapi Minim Transparansi
Di tengah sorotan nasional terhadap pengembangan energi terbarukan, kasus penggunaan galian C tanpa kejelasan legalitas oleh kontraktor besar seperti PT IKPT merupakan preseden buruk. Jika tidak segera ditangani, hal ini bisa memicu ketidakpercayaan publik dan mencoreng nama baik proyek geothermal yang seharusnya menjadi kebanggaan.
Jurnalisme dan masyarakat berhak bertanya. Dan pihak perusahaan punya kewajiban untuk menjawab. Bukan malah menghindar dan membungkam. Karena di balik proyek besar, selalu ada tanggung jawab yang lebih besar.
(EA | JAYA POS)