BeritaHeadline

Menjaga Warisan Bumi, Membangun Masa Depan Toba Caldera Geopark Pasca Green Card 2025 dan Silver Award ADB

12
×

Menjaga Warisan Bumi, Membangun Masa Depan Toba Caldera Geopark Pasca Green Card 2025 dan Silver Award ADB

Sebarkan artikel ini
Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si.

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) / Penggiat Lingkungan)

SAMOSIR, JAYA POS – Tahun 2025 menandai tonggak sejarah penting bagi Toba Caldera UNESCO Global Geopark. Setelah melalui evaluasi ketat oleh UNESCO Global Geopark Council, kawasan ini kembali diganjar Green Card—sebuah pengakuan resmi atas komitmen berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan. Lebih dari itu, Silver Award dari Asian Development Bank (ADB) dalam ajang Geopark Smart Tourism menegaskan posisi Toba sebagai percontohan internasional dalam menyeimbangkan konservasi dan pembangunan berbasis komunitas.

Namun, dua penghargaan bergengsi ini bukanlah garis akhir. Justru sebaliknya, mereka adalah titik tolak untuk memasuki fase baru yang lebih kompleks dan menantang. Fase di mana geopark tak hanya dipelihara sebagai simbol kehormatan, tetapi dijalankan sebagai instrumen transformasi ekologis, sosial, dan ekonomi yang nyata.

Geopark: Ruang Hidup, Bukan Sekadar Lanskap

Konsep geopark jauh melampaui pemandangan indah dan bebatuan purba. Ia adalah paradigma pembangunan berkelanjutan—menggabungkan keragaman geologi (geodiversitas), warisan geologi (geoheritage), dan lokasi geosite, dengan pemberdayaan masyarakat, edukasi lingkungan, dan penguatan kearifan lokal.

Di Toba, geopark menjelma sebagai wajah utuh antara sejarah geologi kaldera supervulkanik dan identitas budaya masyarakat Batak. Status sebagai UNESCO Global Geopark bukan sekadar prestise global, melainkan kontrak tanggung jawab lintas generasi.

Tiga pilar utama yang harus terus diperkuat:

  1. Perlindungan geosite: Kawasan seperti Bukit Holbung, Sipinsur, Huta Ginjang, dan Sigulatti harus bebas dari eksploitasi berlebihan dan alih fungsi yang merusak.

  2. Pusatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama: Mereka bukan objek wisata, melainkan subjek transformasi—dalam konservasi, edukasi, hingga ekonomi.

  3. Seimbangkan infrastruktur dan pelestarian: Geopark harus tumbuh dengan prinsip kehati-hatian, agar tidak tergelincir menjadi proyek pariwisata massal yang menggerus nilai konservasi.

Geodiversitas dan Geoheritage: Fondasi yang Masih Terabaikan

Seringkali, perhatian konservasi tertuju pada biodiversitas. Padahal, tanpa geodiversitas, keanekaragaman hayati tidak akan pernah ada. Ini adalah fondasi terbentuknya tanah, iklim, dan lanskap yang menopang kehidupan.

Geoheritage—seperti batuan metamorf Harian Boho, morfologi Sigulatti, hingga sejarah letusan supervulkanik Toba 74.000 tahun silam—adalah situs yang menyimpan narasi evolusi bumi. Situs-situs ini perlu:

  • Didokumentasikan secara ilmiah

  • Dilindungi lewat regulasi hukum

  • Ditransformasikan menjadi pusat edukasi dan sumber inspirasi lintas generasi

Dari Penghargaan ke Tindakan: Agenda Strategis Geopark Toba

Green Card dan Silver Award adalah sinyal kepercayaan internasional. Namun kepercayaan tanpa tindak lanjut hanya akan menjadi catatan sejarah yang hampa. Ada empat agenda strategis yang harus segera dijalankan:

1. Penguatan Kelembagaan Pengelola

Badan pengelola harus bersifat independen, profesional, dan transparan. Struktur yang jelas, kewenangan yang terukur, serta alokasi anggaran yang adil menjadi syarat mutlak agar pengelolaan geopark tak terjebak dalam tarik ulur politik atau ego sektoral.

2. Pemerataan Manfaat Geowisata

Ekonomi dari geopark harus menyentuh desa-desa terluar—Pulau Tulas, Sianjur Mula-mula, Harian, hingga Onan Runggu. UMKM lokal, homestay rakyat, dan komunitas budaya harus diposisikan sebagai garda depan, bukan sekadar penonton pasif.

3. Akselerasi Energi Bersih

Pembangunan SPPBE LPG di Harian adalah contoh integrasi cerdas antara geopark dan kebijakan energi bersih. Energi terbarukan harus menjadi standar baru—untuk transportasi wisata, akomodasi, hingga rumah tangga. Ini tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga menekan biaya hidup masyarakat lokal.

4. Edukasi sebagai Gerakan Sosial

Literasi geopark harus masuk dalam kurikulum pendidikan dan program komunitas. Anak sekolah, mahasiswa, wisatawan, hingga pejabat publik perlu memahami bahwa geopark bukan hanya objek foto—tetapi living heritage yang harus dijaga bersama.

Geopark adalah Kolaborasi, Bukan Komoditas

Geopark tidak boleh menjadi milik segelintir elite. Ia harus tumbuh sebagai proyek kolaboratif lintas elemen:

  • Pemerintah: Menyusun regulasi, menyediakan insentif, dan menjamin perlindungan kawasan.

  • Pelaku usaha: Berinvestasi secara berkelanjutan dan etis.

  • Akademisi: Memberikan data, kajian, dan inovasi berbasis lokal.

  • Masyarakat: Menjadi penjaga, pengelola, sekaligus pewaris nilai-nilai geopark.

  • Media: Mendorong kesadaran publik dan kontrol sosial yang sehat.

Bumi Tidak Butuh Lebih Banyak Penghargaan—Ia Butuh Lebih Banyak Penjaga

Geopark bukanlah tujuan akhir. Ia adalah proses kolektif menjaga bumi, membangun peradaban yang adil, dan memastikan generasi mendatang memiliki tempat hidup yang layak.

Di Toba, geopark adalah jembatan antara sejarah geologi purba dan masa depan masyarakat Batak yang berdaya. Green Card dan Silver Award hanyalah awal. Tugas kita adalah memastikan warisan ini tetap hidup—bukan hanya di atas kertas, tetapi di tengah masyarakat yang sejahtera dan lingkungan yang lestari.

Kini, saatnya bergerak—lebih bijak, lebih sistematis, dan lebih substansial. Karena yang kita jaga bukan sekadar tanah dan batu, tapi harapan generasi yang belum lahir.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *