JAKARTA, JAYA POS – Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI) kembali menunjukkan sikap kritisnya terhadap dinamika kebangsaan yang tengah ramai diperbincangkan. Dalam misi mulianya untuk membangun Bangso Batak melalui kritik konstruktif, FBBI hadir menyuarakan pandangan alternatif terhadap isu-isu aktual yang menyentuh kepentingan bangsa dan negara.
Salah satu sorotan terbaru datang dari Ketua Umum FBBI, Feber Manalu, bersama jajaran pengurus inti, yang menanggapi langkah Presiden Republik Indonesia dalam memberikan amnesti dan abolisi kepada dua tokoh nasional, yakni Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong. Kebijakan ini merupakan bagian dari pelaksanaan hak prerogatif Presiden, namun menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan.
Menurut Feber Manalu, keputusan Presiden ini mengundang banyak pertanyaan dari masyarakat. “Rakyat jadi bertanya-tanya, ke mana arah keadilan jika hukum bisa dikesampingkan dengan alasan kepentingan stabilitas?” ujar Feber dalam sebuah pernyataan di Jakarta.
Reaksi dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati Soekarnoputri, juga menjadi perhatian. Ia menyayangkan proses hukum yang dijalani Hasto, seolah menandakan bahwa penegakan hukum saat ini sarat dengan nuansa politik dan tidak lagi netral. Beberapa pihak bahkan menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini telah dijadikan alat politik. Situasi ini dinilai sangat meresahkan dan membingungkan rakyat. “Banyak yang hanya bisa bengong, tidak tahu harus percaya pada siapa,” tambah Feber.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto tampaknya melihat kebijakan ini sebagai langkah untuk menjaga keutuhan dan kondusifitas bangsa yang sedang goyah akibat dua kasus besar tersebut. Tanpa perdamaian sosial, pembangunan nasional akan sulit tercapai. Namun, pertanyaannya: apakah keputusan ini benar-benar dilandasi niat untuk menjaga kedamaian ataukah hanya strategi politik?
Salah satu ungkapan filsuf menyebut, “Damai itu berarti siap untuk perang.” Hal ini tercermin dari sikap Thomas Lembong yang langsung “berperang” secara hukum dengan melaporkan tiga hakim ke Komisi Yudisial, sesaat setelah ia memperoleh abolisi.
Perlu dicatat, abolisi bukan berarti seseorang tidak bersalah. Abolisi hanyalah sebuah keputusan politik yang mengesampingkan putusan hukum demi alasan tertentu, biasanya untuk menjaga stabilitas nasional. Unsur kejahatan tetap ada, hanya saja pelaksanaannya dianggap tidak perlu dilanjutkan atau dijalani. Ini artinya, baik Hasto maupun Lembong bukan dibebaskan karena tidak bersalah, melainkan karena alasan politis yang dianggap lebih penting oleh negara.
FBBI dan Komitmen Anti-Korupsi
Dari peristiwa ini, FBBI menangkap sebuah pelajaran penting: perjuangan melawan korupsi harus terus digalakkan, khususnya di wilayah Tanah Batak. Korupsi telah menjadi penyakit budaya yang mengakar dan menjadi penghambat utama dalam pembangunan. Jika korupsi dibiarkan terus tumbuh subur, maka daerah seperti Tapanuli akan sulit keluar dari kemiskinan struktural.
Visi besar FBBI adalah menjadi organisasi masyarakat (ormas) yang memiliki karakter khas dalam memajukan Bonapasogit—tanah kelahiran Bangso Batak—dengan memberdayakan masyarakat Batak di mana pun mereka berada. Baik yang tinggal di kampung halaman maupun yang merantau ke berbagai penjuru tanah air dan dunia.
FBBI menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat Batak untuk membunyikan gendrang perlawanan terhadap korupsi. Perjuangan ini bukan hanya soal uang negara yang dicuri, tetapi menyangkut harga diri, masa depan anak cucu, dan martabat Bangso Batak itu sendiri.***
Salam perjuangan dari BSD, RP