BeritaHeadline

OMC Sudah Jalan, Api Masih Menyala: Rekayasa Cuaca Gagal Padamkan Karhutla di Danau Toba

72
×

OMC Sudah Jalan, Api Masih Menyala: Rekayasa Cuaca Gagal Padamkan Karhutla di Danau Toba

Sebarkan artikel ini
Hingga hari ini, Rabu, 30 Juli 2025, api masih menyala dan asap terus menyelimuti desa-desa serta kawasan wisata.

SAMOSIR, JAYA POS – Status darurat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) resmi diberlakukan di kawasan Danau Toba. Namun hingga hari ini, Rabu, 30 Juli 2025, api masih menyala dan asap terus menyelimuti desa-desa serta kawasan wisata. Ironisnya, upaya Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) yang diandalkan sebagai penyelamat belum mampu menurunkan intensitas kebakaran secara signifikan.

Kabupaten Samosir, bagian inti dari Kawasan Strategis Nasional (KSN), Proyek Strategis Nasional (PSN), dan kawasan UNESCO Global Geopark, kini justru menjadi zona merah Karhutla. Kobaran api terlihat siang dan malam, menciptakan langit kelabu dan kualitas udara yang kian memburuk.

Rekayasa Cuaca: Teknologi Canggih yang Tumpul di Lapangan

Sejak OMC dimulai pada 27 Juli lalu, pesawat TNI AU dari Bandara Silangit telah menyemai hingga 700 kilogram garam per penerbangan di langit Samosir, Simalungun, hingga Tapanuli Selatan. Namun hingga kini, hujan buatan belum membasahi titik-titik api paling kritis.

“Setiap hari api masih membara, asap makin pekat. Kalau memang sudah ada hujan buatan, kenapa tidak ada perubahan?” tanya seorang warga di Pangururan.

Secara teknis, OMC—yang menaburkan partikel higroskopis seperti natrium klorida (NaCl) untuk merangsang pembentukan awan hujan—hanya efektif bila didukung kondisi atmosfer ideal: kelembaban tinggi, suhu permukaan rendah, dan awan yang cukup berkembang. Tanpa itu, penyemaian garam hanya menghasilkan ritual teknologi—bukan hujan.

Data BMKG Silangit mencatat bahwa hujan memang turun di beberapa wilayah seperti Sidikalang, Ambarita, dan sebagian Tapanuli Selatan. Namun pusat-pusat api aktif di Samosir bagian tengah dan timur tetap kering, menjadikan OMC lebih simbolik ketimbang solutif.

Dalam konteks manajemen bencana, OMC seharusnya mendukung operasi darat, bukan menggantikannya. Namun hingga kini, pemadaman manual, pembangunan sekat bakar, serta patroli terpadu di darat belum dikerahkan secara maksimal. Kebijakan terkesan reaktif—bergerak hanya setelah tekanan publik dan eskalasi krisis.

Ini bukan hal baru. Setiap tahun, pola ini berulang: menunggu api membesar, lalu membuat intervensi mendadak. Ketika seharusnya ada perencanaan jangka panjang dan sistematis, yang dilakukan justru upaya tambal sulam.

Hingga hari keempat pelaksanaan OMC, tidak ada laporan resmi yang memuat indikator keberhasilan. Berapa hektare lahan yang berhasil diselamatkan? Apakah ada penurunan suhu permukaan atau perbaikan kualitas udara? Apakah konsentrasi PM2.5 menurun?

Di lapangan, justru sebaliknya. Warga di Pangururan dan Tomok melaporkan peningkatan gangguan pernapasan. Kualitas udara dalam dua hari terakhir masuk kategori tidak sehat. Namun belum ada langkah mitigasi seperti pembagian masker, pembukaan posko kesehatan, apalagi evakuasi sementara.

Tanpa transparansi dan data kuantitatif, publik hanya disuguhi narasi normatif bahwa “hujan telah turun”—sementara kenyataan menunjukkan hal berbeda.

Sumber utama Karhutla di Sumatera Utara tak berubah: praktik pembukaan lahan dengan pembakaran liar, dilakukan oleh individu atau korporasi. Namun hingga kini, belum ada penangkapan atau proses hukum yang diumumkan ke publik.

Penegakan hukum nyaris absen. Padahal, tanpa sanksi tegas, pembakaran akan terus menjadi metode murah dan cepat membuka lahan—dengan konsekuensi ekologis dan sosial yang mahal.

“Kalau hukum tidak ditegakkan, kita hanya akan terus menabur garam ke langit, tapi membiarkan hukum kering di bumi,” kata seorang pengamat hukum lingkungan.

Sebagai kawasan UNESCO Global Geopark dan Proyek Strategis Nasional, Danau Toba memiliki tanggung jawab lokal sekaligus global. Namun realitasnya, krisis Karhutla ini menunjukkan kegagalan manajemen lintas sektor dan lemahnya integrasi kebijakan antar-lembaga.

Masalah Karhutla di Danau Toba tidak akan selesai hanya dengan menabur garam ke langit dan berharap turunnya hujan. Kebakaran ini bukan semata fenomena alam, melainkan buah dari krisis tata kelola lahan, pengawasan lemah, dan ketidakseriusan menindak pelaku pembakaran.

Audit menyeluruh atas efektivitas OMC harus dilakukan. Pemadaman darat harus ditingkatkan, tim respons cepat diterjunkan ke titik prioritas, dan yang paling penting, hukum harus ditegakkan secara tegas dan transparan.

Danau Toba tidak bisa diselamatkan oleh harapan dan garam saja. Ia membutuhkan keberanian, ketegasan, dan kebijakan yang benar-benar berpijak pada bumi.***

Oleh : Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si  (Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *